K.H. MASRURI BIN ABDUL MUGHNI
Latar Belakang Keluarga
K.H. Masruri bin Abdul Mughni yang akrab disapa Abah Masruri, lahir di desa Benda, Kecamatan Sirampog, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah pada 23 Juli 1943. Ibunda Kiai Masruri adalah Ibu Maryam, sedangkan ayah Beliau adalah Abdul Mughni. Ibu Maryam adalah anak kedua dari lima bersaudara pendiri pondok pesantren Al-hikmah, yaitu K.H. Kholil. Sedangkan, putra-putri K.H. Kholil yang lain berturut-turut adalah H. Fatoni, Nyai Nasihah, Kiai Syaifuddin Alhafidz, dan Kiai Waros. Nyai Nasihah sebagai anak ketiga menikah dengan K.H. Ali Asyari yang juga ikut membantu K.H. Kholil dalam mengembangkan pesantren Al-hikmah (wawancara dengan Hj. Masnunah, 16 April 2016).
Pernikahan Nyai Maryam dengan Kiai Abdul Mughni dianugerahi 5 orang anak, yakni Muhtarom, Masmu’ah, K.H. Masruri, Nyai Masnunah, dan Masturi. Cobaan berat beberapa kali menerpa kehidupan pernikahan Nyai Maryam dengan K.H. Abdul Mughni, ketika meninggalnya ketiga putra-putri mereka, yaitu Muhtarom, Masmu’ah, dan Masturi, hingga hanya tersisa K.H. Masruri dan Nyai Masnunah (wawancara dengan Gus Sholah, 15 Mei 2016).
Dalam menyiapkan putra-putrinya supaya menjadi anak yang pintar agama dan pengetahuan umum, hampir setiap malam K.H. Abdul Mughni menemani anak-anaknya belajar. Jadwal telah diatur rapi sehingga setelah maghrib tiba, pelajaran agama terlebih dahulu yang diajarkan adalah belajar mengaji atau membaca Alquran. Setelah itu, belajar pelajaran umum dari sekolah. Bentuk pembelajarannya sangat atraktif, yakni dengan cara badekan (tebak-tebakan) sehingga lebih menarik dan mudah diingat oleh anak-anaknya. Kedisiplinan juga diajarkan oleh K.H. Abdul Mughni kepada anak-anaknya dengan bentuk selalu tepat waktu dalam melaksanakan segala rutinitas harian. Seperti ketika waktu sholat tiba, maka anakanak diajak untuk bersama melaksanakan sholat dan juga ketika waktu berangkat sekolah pun harus tepat waktu. Kecintaan K.H. Abdul Mugni kepada Masruri dan Masnunah kecil, tidak menyurutkan langkahnya untuk juga melatih kemandirian. Langkah nyata untuk melatih kemandirian putra-putrinya adalah dengan membiarkan Masruri kecil yang saat itu bersekolah di Bumiayu terkadang harus berangkat sendiri tanpa diantar. Kesabaran serta ketelatenan kedua orang tua K.H. Masruri saat itu luarbiasa dalam menghadapi persoalan yang muncul dihadapi dengan penuh kesabaran dan keikhlasan (wawancara dengan Hj. Masnunah, 16 April 2016).
Dengan segala kesibukannya dalam mengasuh pesantren Al-hikmah dan aktif di banyak organisasi, tidak membuat Beliau lupa akan pendidikan anak-anaknya. Mereka semua berpendidikan tinggi dan banyak dari mereka yang jebolan pendidikan Timur Tengah. Seperti K.H. Sholahuddin, selain lulusan Ma’had ‘Aly di Makkah juga berhasil menyelesaikan kuliah di STAISA (Sekolah Tinggi Agama Islam Shalahuddin Al-Ayyubi), Jakarta. Putra kedua Abah, Gus Izzudin juga seorang Hafidz Al-quran lulusan Ma’had ‘Aly Makkah. H. Rofiuddin karena suatu peristiwa kecelakaan bersama sang adik Zidti Imaroh, yang merenggut nyawanya, juga merupakan seorang lulusan pascasarjana di Jogjakarta. Kecelakaan tersebut terjadi saat Zidti Imaroh mengurus proses kelulusannya dari sebuah universitas (wawancara dengan Gus Sholah, 15 Mei 2016).
Riwayat Pendidikan K.H. Masruri bin Abdul Mughni
Sejak kecil Abah sudah dekat dengan agama. Kakek dan kedua orang tuanya membimbing secara langsung. Sebagai pendiri Ponpes Al-hikmah, Kiai Kholil sangat memperhatikan pendidikan agama bagi anak dan cucunya. Demikian juga, dengan K.H. Masruri, sejak Beliau sudah sekolah di lingkungan pendidikan Islam yang kental. Dimulai dari SR (Sekolah Rakyat), pada waktu itu belum bernama Sekolah Dasar, yang dilakoni Abah kecil di desa Benda, mulai dari kelas 1 hingga kelas 3, karena belum tersedianya fasilitas gedung sekolah untuk kelas 4 samapai kelas 6, maka sekolah dasar dilanjutkan di Bumiayu. Setiap hari sekitar jarak 5 km, Abah kecil berjalan kaki pulang pergi untuk menuntut ilmu, terkadang Abah kecil diantar ayahnya naik delman untuk berangkat ke sekolah. Sejak kecil, Abah terbiasa untuk tidak menghabiskan waktu dengan bermain, tapi lebih senang untuk membantu kedua orang tua dan bergaul dengan buku dan kitab. Selain sekolah umum, siang harinya dipergunakan untuk bersekolah diniyah di lingkungan Alhikmah. Ketekunannya sudah terlihat sejak belia, tidak ada waktu yang terbuang sia-sia untuk sekadar bercanda dengan teman (wawancara dengan Hj. Masnunah, 16 April 2016).
Setelah tamat sekolah dasar, Abah melanjutkan pendidikannya di Pesantren Tasik Agung Rembang, sekitar tahun 1957. Pada waktu itu, yang menjadi pengurus serta pengasuh Ponpes Tasik Agung Rembang adalah K.H. Sayuti dan K.H. Bisri. Selain nyantri, Beliau juga sekolah di SMP. Tetapi sang ayah kurang setuju Abah sekolah di sekolah umum, karena sang ayah lebih menekankan agar Abah lebih fokus memperdalam ilmu agama. Bukan kekecewaan yang dirasa oleh Abah, justru kesempatan itu dipergunakan sebaik-baiknya. Di pesantren tersebut hanya dilakoni Abah sekitar 2 tahun saja, terbukti dengan hanya nyantri selama kurang lebih 2 tahun saja, Abah sudah dapat menyelesaikan ngaji kitab seperti Fathul Qarib, Fathul Mu’in, Jurumiah, Amriti serta Ta’lim Muta’allim (wawancara dengan Gus Sholah, 15 Mei 2016).
Beliau sangat ta’dhim kepada guru, setiap kali ketika guru sedang menerangkan, Abah selalu mendengarkan secara serius tanpa pernah menyela perkataan gurunya. Walaupun, penjelasan sang guru kadang tidak membuat Abah paham, namun Beliau tidak langsung bertanya, Beliau menunggu sang guru memberi kesempatan kepada murid-muridnya untuk bertanya. Ini juga, salah satu ajaran Abah yang harus ditanamkan kepada anak-anaknya (wawancara dengan Gus Sholah, 15 Mei 2016).
Setelah kurang lebih 2 tahun menimba ilmu, Abah memutuskan untuk memperdalam ilmu agamanya di Pesantren Bahrul Ulum Tambak Beras, Jombang. Sekitar tahun 1959 sampai dengan 1965. Pada waktu itu, pengasuh Ponpes Bahrul Ulum Tambak Beras, yaitu K.H. Wahab Hasbullah. Di pesantren yang juga terkenal dengan sebutan pesantren telu, karena mengembangkan tiga ilmu, yakni syari’at, hakikat, dan kanuragan ini. Abah Masruri memulai pendidikannya di Muallimin, karena telah memiliki modal ilmu yang cukup dari Pesantren Tasik Agung, Abah selalu mendapat ranking 1 di kelasnya (wawancara dengan Gus Sholah, 16 Mei 2016).
Wafatnya K.H. Masruri bin Abdul Mughni
Abah berangkat menjalani ibadah haji dari Solo sampai ke Makkah dengan kondisi kesehatan yang baik. Abah pada saat itu, terjaga dengan baik, bahkan sampai menjalankan ibadah thawaf wada’. Bermula saat perjalanan dari Makkah menuju Madinah untuk melaksanakan ibadah sholat arba’in, Abah mengaku merasakan sakit. Padahal, selama ini Abah jarang mengeluh walaupun saat sakit. Beliau beranggapan, bahwa mengeluh hanya akan membebani keluarga. Pada saat itu, Abah merasakan kecapaian. Petugas pun kemudian membawa Abah ke Balai Pengobatan Haji Indonesia (BPHI) di tanah Madinah. Karena kondisinya terus menurun, akhirnya petugas melarikan ke Rumah Sakit Al-anshor. Sabtu pagi, kondisi Abah sempat membaik, bahkan selang ventilator yang terpasang dilepas oleh tim dokter (wawancara dengan Gus Sholah, 16 Mei 2016).
Namun, Sabtu malam pukul 23.00 WSA (Waktu Saudi Arabia) kondisi Abah kembali menurun. Di rumah sakit tersebut, di tanah suci Madinah, K.H. Masruri Abdul Mughni di panggil ke haribaan Allah SWT, Ahad pagi pukul 00.15 WAS atau pukul 04.15 WIB. Pada tanggal 20 November 2011, Abah meninggal saat menunaikan ibadah haji, mengalami serangan jantung dan meninggal dalam usia 68 tahun (wawancara dengan Gus Sholah, 16 Mei 2016).
Kepergian Abah yang begitu mendadak, sontak membuat keluarga dan santri tidak percaya. Mereka masih berharap bahwa kepergian Abah hanya sebentar seperti yang sering Beliau lakukan ketika ada kegiatan NU di Semarang, bahkan ketika Abah menjadi pembimbing haji, dan kepergian Abah hanya sebentar dan pasti kembali. Namun, harapan itu hanya sebuah harapan belaka karena Allah SWT sudah memutuskan kehendak-Nya, bahwa Abah Masruri sudah dipanggil untuk selama-lamanya. Kecintaan keluarga, santri, dan masyarakat tidak dapat mengalahkan kecintaan Allah kepada Abah. Tidak ada firasat apapun saat menjelang kepergian Abah ketika hendak melaksanakan ibadah haji ke tanah suci Makkah. Kepergian seperti biasa selalu berpamitan kepada santri-santrinya sekaligus memohon doa atas keselamatan dan kelancaran dalam melaksanakan ibadah haji (wawancara dengan Gus Sholah, 16 Mei 2016).
Wafatnya K.H. Masruri cukup mengejutkan bagi banyak kalangan, terutama keluarga dan para santri. Sebab, saat berangkat ke Tanah Suci untuk melaksanakan ibadah haji, Beliau tampak sehat. Keberangkatan almarhum ke menunaikan ibadah haji, ditemani istrinya, yaitu Hj. Wiwik Muzdalifah dan tiga orang anaknya yang juga menunaikan ibadah haji. Istri dan tiga anak ikut mendampingi Abah berangkat ibadah haji (Wawancara dengan Gus Sholah 16 Mei 2016).
Setelah dishalati di Masjid Nabawi selepas shalat subuh, atas permintaan Abah sendiri jenazah Beliau di makamkan di komplek pemakaman Baqi’ di dekat Masjid Nabawi. “Kami sepakat untuk dimakamkan di sana dan saat Beliau hidup juga mengatakan sangat cinta dan ingin bersanding dengan Nabi Muhammad SAW. Doa itu ternyata dikabulkan dan Abah wafat di Madinah”, tutur Gus Sholahuddin (Wawancara dengan Gus Sholah 16 Juni 2016).
Komentar
Posting Komentar